Hukum -->

Jumat, 28 Februari 2025

Ungkap Suara Praktisi: Workshop LIDIK PRO di Makassar Bahas Konflik Kewenangan Hukum

Makassar, Teropongsulawesi.com, Bekerjasama dengan pihak program studi magister hukum Universitas Indonesia Timur, Lembaga Investigasi Mendidik Pro Rakyat Nusantara (LIDIK PRO) Provinsi Sulawesi Selatan, sukses menggelar kegiatan workshop di Makassar, yang dilangsungkan di Hotel Denpasar Lantai 3 Jalan Boulevard No 1 Masale Kecamatan Panakukang Kota Makassar, Jum’at, (28/2/2025).

Dalam forum workshop tersebut, puluhan peserta membahas RUKHAP yang juga dikenal dengan sebutan asas dominus litis itu.

Workshop yang digelar dari siang hingga sore itu, mengangkat tema kegiatan “Potensi Konflik Kewenangan Antara Lembaga Penegak Hukum Pidana yang dihadiri narasumber dari kalangan praktisi hukum, doktor-doktor yang berasal dari beberapa Universitas yang ada di Kota Makassar.

Workshop yang dibuka langsung oleh Syahrial Wahyu Maulana, SH mengawali apresiasi dan ucapan terimah kasih kepada penyelenggara kegiatan atas terlaksananya workshop dengan penuh antusiasme.

Dilanjutkan dengan pengantar oleh Gunawan (akrab disapa Gugun) itu mengantar ulasan terkait polemik yang terjadi dalam rancangan undang-undang no 11 tahun 2021 antara lembaga penegak hukum kejaksaan dan kepolisian, dimana hingga saat ini saling tumpang tindih dalam penafsiran soal kewenangan tersebut sekaitan dengan hukum pidana.

Selanjutnya, workshop dipandu langsung oleh Azruddin Azis SE dengan mengefisienkan waktu yang ada, langsung membuka ruang workshop kepada peserta aktif Herianto, SH dari civitas akademika Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar.

Herianto mengatakan dalam kesempatan itu, bahwa sebelum jauh melangkah tentang pemberlakuan asas Dominus Litis , ia menyatakan bahwa penyidik kepolisian minimal memiliki basic ilmu hukum dalam hal penugasan penanganan kasus dan ini pula menjadi salah satu pelemahan bagi institusi kepolisian, akibatnya jika sebuah kasus diteruskan kepada pihak kejaksaan sering menemui kendala dalam hal berkas perkara sehingga proses perkara yang diajukan menuai proses yang lambat.

Proses ini bisa menjadi pemicu terhadap Rancangan RUU Kejaksaan tentang pemberlakuan asas Dominus Litis. Namun demikian dalam hal RUU tentang asas Dominus Litis membutuhkan kajian mendalam dalam peningkatan kapasitas penegakan hukum. 

Ia meminta agar RUU dalam penyelidikan oleh pihak kepolisian tetap diadakan atau jangan dihilangkan, tambahnya.

Sementara itu, pada kesempatan lain ditempat yang sama Doktor Amiruddin Lannurung, SH.,MH menyampaikan penerapan hukum pidana yang dilakukan masih jauh dari harapan, sehingga dibutuhkan penanganan khusus bagaimana sejatinya hukum itu berlaku untuk terciptanya rasa keadilan. 

Terkait RUU tentang kejaksaan membutuhkan pedoman hukum yang khusus sehingga kedepan tidak akan terjadi pelemahan hukum diantara sejumlah institusi penegak hukum. ungkapnya.

Lain halnya dengan Ibu Doktor Mira Mila Kusuma Dewi, SH, L.L.M, M.Kn, memberikan support kepada lembaga Lidik Pro Sulsel sebagai penyelenggara workshop dan berharap agar kedepan terus lembaga ini terus eksis dalam memperjuangkan penegakan hukum, olehnya itu ia juga menyampaikan ucapan selamat dan sukses atas penyelenggaraan workshop atas kerjasama hebat dengan pihak pordi magister hukum UIT Makassar, tuturnya.


Tak mau ketinggalan, Doktor Muh. Anwar HM dari kampus UIN Alauddin yang juga diundang dalam workshop ini, mengatakan kendati dirinya tidak memiliki latar belakang hukum tapi dirinya tidak suka menghukum dengan sedikit kata candaan.

Doktor Anwar menyinggung adanya potensi lambatnya penyelesaian polemik ini dikarenakan salah satu faktor ada pelemahan lembaga penegak hukum dalam hal ini kepolisian, kendati pihaknya menyadari ada kendala ditubuh polri dalam hal minimnya kemampuan atau pemahaman aparat kepolisian yang memiliki pengetahuan cukup dan bagus tentang hukum, terangnya.

Kendati demikian, menurutnya dalam kondisi itu bukan berarti pelemahan ke lembaga tertentu dilakukan karena ini bisa menjadi potensi peralihan fungsi dalam konteks penegakan hukum pidana kepada lembaga penegak hukum pidana tertentu. Dan itu kita kita tidak harapkan bersama, tegas Anwar kembali.

Usai kegiatan berlangsung, Ketua DPP LIDIK PRO Sulsel Muh Kemal Situru, S.Pd.,M.Si saat dimintai keterangannya setelah sukses mengadakan kegiatan workshop bekerjasama dengan pihak kampus UIT pada prodi magister hukum, mengawali ucapan terimah kasih dan apresiasinya kepada kampus UIT Makassar melalui Prodi Magister Hukum atas terselenggaranya kegiatan ini dengan baik dan lancar.

“Alhamdulillah, kegiatan ini berjalan lancar dengan kerjasama kami dengan Doktor Patawari, SHI.,MH selaku ketua Prodi Magister Hukum yang juga adalah direktur Patawari Law Firm, kendati beliau pada hari ini tidak berada di acara workshop dikarenakan beliau sedang melaksanakan ibadah umroh di tanah suci Mekkah dan baru berangkat kemarin, sehingga beliau mengamanahkan kepada kami sepenuhnya untuk mensukseskan kegiatan ini,” tambah Kemal Situru.

Kemal Situru juga dalam kesempatan itu menyampaikan ucapan terimah kasih kepada pihak yang ikut mensukseskan serta mendukung terselenggaranya workshop ini, baik itu LSM Leskap, Patawari Law Firm, asosiasi JOIN (Jurnalis Online Indonesia) Sulsel, media online beritapers.com, suaralidik.com, youtube channel pewarta TV, serta media online lainnya yang ikut terlibat langsung dalam kegiatan workshop, tutup Kemal Situru.(*)

Jumat, 14 Februari 2025

'Dominus Litis' Jadi Perdebatan dalam RKUHAP, Ini Pandangan Wakil Dekan UIM

Makassar, Teropongsulawesi.com, Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) saat ini menjadi perhatian kalangan akademisi di Indonesia. Beragam pendapat soal peran dominus litis Kejaksaan dalam proses peradilan pidana melalui revisi kitab undang-undang hukum acara pidana.(14/2/2025).

Sejumlah praktisi hukum yang ada di Kota Makassar juga angkat bicara menyikapi soal asas dominus litis pada rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP).

Sebelumnya, beberapa praktisi hukum menilai bahwa hal yang paling berbahaya ketika jaksa mendapat kewenangan sebagai penyidik merangkap penuntut, dikhawatirkan terjadinya kewenangan yang berlebih. 

Sebaiknya polisi difokuskan sebagai penyidik dan jaksa sebagai penuntut.

Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Makassar, Dr. Andi Arfan Sahabuddin, SH.,MH saat dimintai pendapatnya, mengungkapkan bahwa asas dominus litis dimana poin yang didukung oleh Doktor Andi Irfan Sahabuddin yakni pada posisi kepolisian tetap berada dalam sebuah tupoksi penyelidikan.

Sementara, untuk jaksa menurut Doktor Andi Arfan tetaplah kejaksaan dalam ruang lingkup tupoksinya sebagai penuntut umum, dan tetap mengekedepankan keadilan, independensi, dan objektifitas, terangnya.

Jangan sampai asas dominus litis ini merusak sistem hukum yang sudah ada, jangan sampai ini menciptakan ketidakseimbangan serta ketidakadilan dalam proses peradilan pidana, tegasnya lagi.

Maka, penyidikan perkara tetap dipegang oleh Kepolisian Republik Indonesia.

RUU KUHAP harus mempertegas hukum. Pemfungsian kembali asas difresiansi dan saling menghormati dalam satu tujuan penegakan hukum penting.

Revisi UU Kejaksaan ini terus menjadi perdebatan di berbagai kalangan. Para akademisi dan praktisi hukum sepakat bahwa revisi ini perlu dikaji ulang dengan lebih mendalam, serta melibatkan partisipasi publik secara luas agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan di masa mendatang. 

Di tengah polemik ini, para pakar berharap agar Presiden memberikan arahan yang jelas untuk menyelesaikan permasalahan tersebut sebelum revisi ini disahkan. (KML)

Selasa, 11 Februari 2025

Kasat Reskrim AKP Nurman Matasa Ungkap Fakta Terkait Dugaan Tambang Ilegal di Sekitar Mapolres Soppeng

Soppeng, Teropongsulawesi.com, Terkait lokasi tambang galian C yang diduga beroperasi yang tidak jauh dari lokasi kantor Kepolisian Resort Polres Soppeng, Kelurahan Lalabata Rilau, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng, Kasat Reskrim Polres Soppeng, AKP Nurman Matasa, SH, MH, menjelaskan bahwa aktivitas galian tersebut sebenarnya untuk peruntukan rumah dinas Polres Soppeng, ucapnya Rabu (12/02/2025)

"Kegiatannya telah kami hentikan, kami telah mengunjungi lokasi agar aktivitas dihentikan," tegas AKP Nurman.

Kasat Reskrim Polres Soppeng AKP Nurman menegaskan bahwa Polres Soppeng bertindak profesional dan transparan dalam menangani kasus ini. 

"Kami tidak akan menutupi apapun, kami akan selalu menjaga kepercayaan masyarakat," ujarnya.

"Kami ingin memastikan bahwa masyarakat tidak perlu khawatir tentang kegiatan ini, karena kami telah menghentikan kegiatan tersebut dan akan memastikan bahwa kegiatan yang akan dilakukan di lokasi itu sesuai dengan peraturan dan ketentuan yang berlaku," terang AKP Nurman.

Ia menuturkan bahwa, "Polres Soppeng berharap masyarakat dapat memahami situasi yang sebenarnya dan tidak perlu khawatir tentang kegiatan yang telah dihentikan tersebut, tandasnya (***)

Mengupas FGD HSR Imperium, Dominus Litis dan Implikasinya pada RUU No.11 Tahun 2021

Makassar, Teropongsulawesi.com, Forum Grup Diskusi (FGD) yang digelar oleh HSR Imperium dengan membahas tentang revisi Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2021 dari sudut pandang hukum, politik dan komunikasi koordinasi, berjalan sukses dengan menghadirkan empat tokoh dari kalangan akademisi dan aktivis.(Senin/11/2/2025).

FGD berlangsung di Kota Makassar, tepatnya di Cafe Muda Mudi Jl. Lanto Daeng Pasewang No. 22 Maricaya, yang berlangsung dari siang hingga jelang malam.

Kegiatan HSR ini, mengangkat tema “Quo Vadis Revisi Undang-undang No 11 Tahun 2021 Terkait Perspektif Hukum, Politik dan Komunikasi – Koordinasi” yang menghadirkan narasumber dari kalangan akademisi.
Dihadiri puluhan orang, FGD sangat serius menyikapi polemik Dominus Litis istilah lain dari persoalan pada UU No.11 Tahun 2021, yang terletak pada pasal 8 ayat 5.

Adapun narasumber yang hadir, diantaranya Prof. Dr. Aminuddin Ilmar, S.H., M.HuM seorang dosen Prodi Magister Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin, Dr. Adi Suryadi Culla, M.A (Pengamat Politik Universitas Hasanuddin), Dr. Hasrullah, M.A (Pakar Komunikasi Politik Universitas Hasanuddin), Dr. Dra. Irwani Pani, S.Psi., M.I.Kom (Moderator), Perwakilan tokoh, akademisi/praktisi hukum, aktivis/mahasiswa dan media.

Dalam kesempatan FGD itu, Prof. Dr. Aminuddin Ilmar, S.H., M.HuM menyampaikan bahwa revisi dari undang-undang Kejaksaan yang lama nomor 16 tahun 2004 dan itu memang dirubah pada saat peran pemerintah khususnya pada saat pemerintah melihat fungsi dan tugas serta kewenangan Kejaksaan dianggap sudah tidak sesuai dengan kondisi yang ada sekarang ini.

Kemudian, Prof Aminuddin juga mengatakan kalau dari awal memang revisi undang-undang kejaksaan itu sudah menimbulkan pro dan kontra karena banyak orang berbeda substansi terkait revisi tersebut, tuturnya.

Kewenangan penyelidikan yang dilakukan oleh pihak kepolisian sekarang sudah bagus akan tetapi dengan adanya revisi, sehingga dapat menimbulkan polemik antara kepolisian dan kejaksaan, tegasnya lagi.

Sementara, Doktor Adi Suryadi Culla, M.A menyinggung adanya potensi kepentingan dibalik revisi undang-undang kejaksaan dimana dapat digunakan untuk kepentingan politik dan pribadi.

Adanya akumulasi kewenangan dimana akan ada perluasan kewenangan yang sehingga dapat menimbulkan polemik dan kemungkinan kepentingan politik itu sangat tinggi sehingga berdampak polemik dan dapat digunakan untuk kepentingan pribadi, imbuhnya.

Tujuan revisi undang-undang kejaksaan untuk menguatkan kejaksaan sehingga dapat di gunakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan, tumpang tindih yang mungkin terjadi antara kepolisian dan kejaksaan dimana kejaksaan itu hanya sebagai penuntut dan kepolisian yang melakukan penyelidikan, jelas Doktor Adi Suryadi.

Doktor Hasrullah, M.A tak mau ketinggalan menyikapi RUU itu dengan mengatakan dalam perspektif komunikasi, tentunya dalam menyikapi berita terkait revisi undang-undang kejaksaan harus betul-betul di cermati dengan baik. Dalam beberapa pasal dari revisi undang-undang kejaksaan ini menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya potensi konflik kepentingan.

Jika nantinya tupoksi itu dilaksanakan sesuai dengan fungsi masing-masing penegakkan hukum di Indonesia bisa berjalan dengan baik. Maka Doktor Hasrullah kembali menegaskan revisi undang-undang kejaksaan untuk dikaji kembali sehingga tidak menimbulkan polemik serta potensi konflik antara kepolisian dan kejaksaan, harapnya dihadapan wartawan.

(Lap:KML/Editor:AST)

Selasa, 28 Januari 2025

Mendalami Gagasan Prof Dr Amir Ilyas, Pembaharuan Hukum Acara Pidana

Oleh: Prof Dr Amir Ilyas, SH, MH Guru Besar Ilmu Hukum

Jakarta, Pembaharuan hukum acara pidana dengan melalui revisi UU No. 8/1981, dan guna menjalankan "semangat perlindungan" hak asasi dalam penegakan hukum, mengikuti UU No. 1/2023 yang akan berlaku pada 2 Januari 2026, di masa mendatang. 

Gagasan untuk "menunggalkan fungsi penyidikan dalam institusi Polri, makin kencang dari beberapa kalangan, terutama dari kelompok akademik yang berlatar belakang. "kepolisian".

Gagasan ini tentunya, selain mengusik institusi kejaksaan, juga akan mendebarkan jantung komisi anti rasyuah. 

"Jangan-jangan akan dibubarkan pasca revisi undang-undang hukum acara pidana".

Tanpa menafikan fungsi Kamtibmas Kepolisian, penilaian publik atas kewenangan Kejaksaan dalam menjalankan fungsi penyidikan tindak pidana tertentu (seperti korupsi, dan pelanggaran HAM berat), memang berada dalam dua kutub. 

Ada yang berkehendak agar fungsi penyidikan tersebut dipertahankan. 

Ada juga yang menginginkan agar institusi kejaksaan tidak diberikan lagi, kewenangan penyidikan. 

Harapan untuk mencabut kewenangan itu, selain disebabkan "ego sektoral" institusi, juga muncul dari "aktor kejahatan" eks narapidana korupsi, terutama mantan narapidana korupsi yang berlatar "politisi," dan korporasi.

Gagasan untuk "menghilangkan" fungsi penyidikan kejaksaan, sesungguhnya bukan "barang baru" yang muncul di tengah-tengah isu dan diskursus pembaharuan KUHAP. 

Tiga tahun setelah lahirnya UU No. 16/2004 tentang Kejaksaan (Perubahan terkahir UU No. 11/2021), Subarda Midjaja, seorang purnawirawan TNI AD mengajukan uji materil di Mahkamah Konstitusi (MK) atas Pasal 30 huruf d UU Kejaksaan. 

MK kemudian menyatakan permohonan tidak dapat diterima, karena Pemohon tidak memiliki legal standing.

Namun dengan berdasarkan Putusan MK Nomor 28/PUU-V/2007 tersebut. MK sudah mulai membuka "titik terang" jikalau konstitusi pun tidak pernah menyatakan fungsi penyidikan hanya menjadi "wewenang tunggal" Kepolisian. Pasal 30 ayat 5 UUD NRI 1945 dan Pasal 14 UU Kepolisian menjadi rujukan MK.

Ketentuan dalam UUD NRI 1945 yang menyatakan Susunan dan Kedudukan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia di dalam menjalankan tugasnya, syarat-syarat keikutsertaan warga negara dalam usaha pertahanan dan keamanan negara, serta hal-hal yang terkait dengan pertahanan dan keamanan diatur dengan undang-undang. 

Kemudian dengan berdasarkan Pasal 14 Kepolisian, ditegaskan: "dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya".

Kewenangan penyidik tunggal dalam konteks itu dimaknai, bukan lahir dari UUD NRI 1945, tetapi dengan melalui UU Kepolisian. 

Kemudian, dengan berdasarkan Pasal 24 ayat 3 UUD NRI 1945 sebagai cantolan institusi kejaksanaan, "badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. 

Berikut dengan memberikan "kewenangan penyidikan untuk tindak pidana tertentu" bagi kejaksaan tidak akan menggangu prinsip "diferensiasi fungsional, check and balance, dan sharing power" dalam KUHAP.

Dalam hemat penulis, diskursus soal siapa yang paling berwenang dalam fungsi-fungsi penyidikan dimaksud tidak perlu lagi diperpanjang perdebatannya. 

Ada baiknya, sekarang berkonsentrasi pada misi bersama, menegakkan hukum di atas kepentingan dan kebutuhan masyarakat. 

Kita harus menyadari, bahwa lahirnya UU KPK dan UU Tipikor, bukan karena hendak membubarkan institusi lain (seperti Kepolisian), tetapi demi mengukuhkan semangat reformasi dalam pencegahan korupsi, agar pembangunan ekonomi dan kesejahteraan rakyat terjamin, untuk penghidupan yang layak.

Bersama-sama kita memberantas korupsi, adalah kata yang tepat untuk itu. Tidak saling menegasikan satu sama lain. 

Harus disadari, hukum berjalan tertatih-tatih di belakang kenyataan, bukan sekadar pameo indah dalam ruang-ruang kuliah saja. Modus operandi kejahatan kini berkembang searah dengan kemajuan tekhnologi dan informasi. 

Hal itu tentunya menjadi tujuan sosiologis atas "pemencaran" kewenangan penyidikan untuk tindak pidana tertentu, tidak hanya dalam domain kepolisian.

Pembaruan KUHAP untuk mensegerakan penyidikan tunggal bagi Kepolisian, tidak ada yang salah. 

Dengan catatan kewenangan tunggal dimaksud, hanya untuk tindak pidana umum. Diantara kepolisian dan kejaksaan, jelaslah berlaku prinsip diferensiasi fungsional dan sharing power, check and balance, serta pengawasan secara horizontal.

Kewenangan penyidikan pada Kejaksaan, KPK, dan PPNS lainnya selama fungsi koordinatif berjalan satu sama lain, beriringan tidak akan mengganggu sistem penegakan hukum pidana. 

Penegak hukum pun tidak kebal hukum. Polisi, jaksa, pengacara, hakim, kesemuanya sama dalam perlakuan, equity diantara mereka. Praktik sudah menunjukkan, korupsi sudah banyak mengantarkannya di depan meja hijau, pengadilan.

Hal yang pasti, pengawasan atas kewenangan penyidikan, penyidikan tindak pidana umum, penyidikan tindak pidana tertentu, tidak hanya datang dari sesama penegak hukum. 

Prayudisial, praperadilan saat ini menjadi bahan pertimbangan, bagi polisi, Jaksa, KPK, jangan asal dalam menjalankan fungsi penyidikan, lalu dengan gegabah menetapkan seseorang dalam status tersangka.

(Red) 

Sabtu, 25 Januari 2025

Apa yang Membuat Citra KPK Meningkat Meski Prestasi Dipertanyakan?

Jakarta, Teropongsulawesi.com, Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) menyatakan keheranannya atas hasil survei Litbang Kompas mengenai citra penegak hukum yang baru-baru ini dirilis. 

Dalam survei tersebut, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapat citra positif yang signifikan, sementara Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Polri dinilai lebih rendah, meskipun prestasi mereka di lapangan cukup mencolok.

Survei Litbang Kompas mencatat peningkatan signifikan pada citra KPK, yang naik dari 60,9 persen pada September 2024 menjadi 72,6 persen pada Januari 2025. 

Kejagung memperoleh 70 persen, sementara Polri berada di posisi terendah dengan 65,7 persen, namun, MAKI menilai bahwa ada anomali dalam persepsi masyarakat terhadap prestasi ketiga lembaga tersebut.

Boyamin Saiman, Koordinator MAKI, menyampaikan bahwa Kejagung, meskipun jarang melakukan operasi tangkap tangan (OTT), berhasil mengungkapkan kasus besar, salah satunya yang melibatkan mantan pejabat Mahkamah Agung, Ricar Zarof, yang menyita Rp 1 triliun dan melibatkan setidaknya empat hakim terkait kasus bebasnya Ronald Tanur. 

Selain itu, Kejagung juga telah menuntaskan berbagai kasus besar seperti Timah, Asabri, Jiwasraya, dan Perkebunan.

Sementara itu, Polri mencatatkan keberhasilan besar dalam mengawal Pemilu, termasuk Pilkada Serentak, dan cepat tanggap terhadap perkara-perkara viral yang berkembang di masyarakat. 

Keberhasilan Polri dalam menjaga stabilitas nasional dan menangani berbagai kasus juga seharusnya memberikan citra positif yang lebih tinggi.

Namun, KPK yang masih berkutat dengan kontroversi dan belum menunjukkan prestasi signifikan dalam mengungkap kasus besar, justru mendapatkan citra yang meningkat. 

MAKI mengkritisi bahwa meskipun KPK berhasil mengungkap kasus buron Harun Masiku dengan menetapkan Hasto Kristiyanto sebagai tersangka, namun kegagalan KPK dalam mencegah kebocoran anggaran negara dan kurangnya supervisi terhadap lembaga lain yang sukses menangani korupsi, patut menjadi perhatian.

Boyamin menambahkan, MAKI merasa terkejut dan bingung melihat penilaian masyarakat yang belum sepenuhnya objektif terhadap kinerja lembaga penegak hukum. 

MAKI sendiri telah lama mengawasi dan mengkritisi kinerja KPK, Kejagung, dan Polri melalui berbagai gugatan praperadilan terhadap perkara-perkara yang mangkrak. 

Boyamin menilai Kejagung, meskipun tidak banyak digugat, justru melakukan terobosan besar dalam menangani kasus-kasus korupsi dengan kerugian negara yang sangat besar.

MAKI menekankan pentingnya sosialisasi yang lebih masif kepada masyarakat agar mereka dapat lebih objektif dalam menilai citra penegak hukum. 

“Masyarakat perlu dicerdaskan agar dapat memberikan penilaian yang lebih obyektif terhadap citra penegak hukum,” ujar Boyamin.

Meski begitu, MAKI tetap menghormati hasil survei Litbang Kompas sebagai sarana untuk meningkatkan kinerja lembaga penegak hukum. 

Boyamin berharap agar hasil survei ini bisa memotivasi ketiga lembaga untuk terus meningkatkan prestasi dan mempertahankan semangat dalam menegakkan hukum secara adil dan tegas.

(Red/SBR) 
© Copyright 2019 TEROPONG SULAWESI | All Right Reserved